Cerita Cewek bipak
ini diceritakan langsung oleh sang suami, betapa binalnya sang istri
sehingga menjadi bispak saat mudik, hati suami mana yang tak sedih jika
istri menjadi bispak, mau diceraikan sayang karena cantik dan mulus,
mau dilanjutin makan hati, oke deh lanjutin aja baca cerita
selengkapnya…
Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku
selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tuaku dan orang tua
istriku di Yogyakarta setiap hari raya Idul Fitri. Biasanya kami mudik
seminggu sebelum hari rayanya, agar kami bisa puas merayakan lebaran di
sana. Aku mudik seringnya dengan mobil sendiri. Saat anak-anakku masih
kecil aku sendiri yang menyetir hingga sampai ke rumah orang tua kami.
Saat anakku beranjak besar dan remaja, gantian merekalah yang bawa
mobil.
Kalau pulang mudik aku paling senang lewat jalur selatan
yang tidak begitu ramai dan jarang ada kemacetan. Hal yang paling
kusukai adalah saat aku melewati desa Redjo Legi menjelang masuk ke
kota Purworejo. Di situ tinggal pamanku, biasa kupanggil dengan Pak
Lik. Dia adalah adik sepupu bapakku. Aku sangat akrab dengannya karena
anaknya yang yang paling tua, pernah kuliah di kotaku dan tinggal di
rumah orang tuaku. Kalau hari libur semesteran, aku sering diajaknya
pulang ke Redjo Legi untuk mencari belut. Depan halaman rumahnya yang
hingga kini merupakan sawah yang terbentang selalu ada cukup belut
untuk kami tangkap dan kami goreng.
Nostalgia macam itulah yang
membuatku selalu ingin mengenang kembali masa-masa indah itu dengan
menyempatkan mampir ke rumah Pak Lik setiap kali aku pulang mudik.
Tidak ada yang begitu berubah di rumah Pak Lik sejak dulu. Rumahnya
yang berdinding gedek kulit bambu itu terasa sangat nyaman. Bagusnya
dinding gedek macam itu adalah fungsi sirkulasi udaranya sangat bagus,
disebabkan gedeknya yang bercelah-celah akibat jalinan bambu yang tidak
mungkin bisa rapat 100%. Kemudian di pagi hari, sinar matahari akan
menembus celah-celah gedek itu sehingga panasnya cukup untuk
membangunkan kami yang maunya masih bermalas-malas di amben. Suatu
istilah setempat untuk balai-balai tempat tidur, yang terbuat dari
bambu. Hanya saja rumah itu sekarang terasa lebih luas disebabkan
renovasi yang dilakukan Pak Lik beserta istri.
Pak Lik
sendiri walaupun saat ini usianya sudah lebih dari 50 tahun, tepatnya
54 tahun, 12 tahun di atas umurku dan 18 tahun di atas umur istriku,
masih gagah dan sehat. Tubuhnya yang 180 senti itu terlihat tegap,
padat, dan berisi. Khas tubuh seorang petani. Empat tahun yang lalu Bu
Lik meninggal dunia karena sakit sehingga kini Pak Lik menjadi duda.
Untuk menopang kegiatannya sehari-hari Pak Lik dibantu pelayan kecil
dari kampungnya untuk mencuci pakaiannya dan masak ala kadarnya.
Apabila sudah tidak ada lagi yang dikerjakan dia pulang ke rumahnya yang
tidak jauh dari rumah Pak Lik.
Kedua
anaknya sendiri sudah bekerja di lain kota, dan mereka baru pulang
kalau lebaran tiba. Sama seperti keluargaku. Akhirnya Pak Lik menjadi
terbiasa hidup sendirian di rumahnya. Sanak saudaranya yang lain
termasuk aku, sering menyarankannya untuk kawin lagi. Agar ada
perempuan yang membuatkannya kopi di pagi hari atau menjadi pasangannya
saat bertandang ke acara keluarga. Namun sampai saat ini Pak Lik masih
belum juga menemukan jodohnya yang sesuai. Walaupun pendidikannya cukup
tinggi, waktu itu sudah menyandang titel BA atau sarjana muda,
kegiatannya sehari-hari dari dulu hingga kini adalah bertani. Dia
menggarap sendiri sawahnya yang cukup luas ini.
Tahun ini aku dan
istriku terpaksa pulang mudik berdua saja. Anak-anakku punya acara
sendiri bersama teman-temannya yang susah aku pengaruhi untuk ikut
menemani kami. Ya, sudah. Aku tidak suka memaksa mereka. Ketiganya
sedang beranjak dewasa dan harus bisa belajar mengambil keputusan
sendiri.
Menjelang masuk kota Kroya jam menunjukkan pukul 2 siang
saat aku merasa agak demam. Tubuhku melemah dan kepalaku mulai terasa
pusing. Sambil berpesan agar menyupirnya tidak usah buru-buru, istriku
memberi obat berupa puyer anti masuk angin yang selalu dia bawa saat
bepergian jauh. Sesudah aku meminumnya rasa tubuhku agak lumayan,
pusingku sedikit berkurang. Tetapi tetap saja tidak senyaman kalau
tubuh lagi benar-benar sehat. Menjelang masuk gerbang desa Redjo Legi,
menuju rumahnya Pak Lik aku merasakan sakitku tak tertahankan lagi.
Kupaksakan terus jalan pelan-pelan hingga tepat jam 5 sore mobilku
memasuki halaman rumah Pak Lik yang dengan penuh kehangatan menyambut
kami.
Ketika dia tahu aku sakit, dia panggil embok-embok di
kampungnya yang biasa mijit dan kerokan. Suatu kebiasaan orang Jawa
kalau sakit, tubuhnya dikerok dengan mata uang logam untuk mengeluarkan
anginnya. Ketika sakitku tidak juga berkurang, dengan inisiatif Pak
Lik dan ditemani istriku, aku pergi ke dokter yang tidak jauh dari
rumahnya. Dalam perjalanan ke sana, tiba-tiba hujan turun dengan
lebatnya. Tak urung tubuh kami bertiga pun menjadi basah. Untungnya
jarak kami dengan klinik dokter itu sudah dekat, sehingga kami bisa
cepat berteduh di sana dan pakaian kami tidak menjadi terlalu basah.
Dari
dokter itu, aku diberi obat dan disuruh banyak istirahat. Selesai
berobat, ternyata hujan masih tetap deras di luar sana. Agak lama
menunggu, Pak Lik menjadi tak sabar. Dia berinisiatif untuk pulang
duluan, bermaksud menjemput kami dengan mobilku. Aku dan istrikupun
merasa keberatan dengan rencananya itu. Meskipun rumah dan klinik sang
dokter itu tidak begitu jauh dari rumah Pak Lik, sekitar 5 kiloan, tak
urung kami merasa sangat tidak enak hati. Kami merasa telah banyak
merepotkannya sejak tadi sore. Tetapi Pak Lik yang baik hati itu tetap
bersikeras, hingga akhirnya kami mengalah.
Aku memperhatikan
kepergiannya dengan perasaan khawatir bercampur kagum. Perasaan
khawatir muncul karena aku tidak ingin paman kesayanganku itu jatuh
sakit karena hujan-hujanan. Sedangkan kekagumanku timbul melihat betapa
gagahnya dia saat ini. Guyuran air hujan yang membasahi kemeja
kausnya, membuat tubuhnya yang atletis itu tercetak jelas.
Ketika
pandanganku menoleh ke samping, aku bisa melihat pancaran kekaguman
yang sama tersiar dari wajah istriku. Namun Dik Narti segera mengubah
arah pandangannya begitu tahu aku memperhatikannya. Dalam perjalanan
pulang, aku melirik istriku tak lepas-lepasnya memandangi Pak Lik
secara sembunyi-sembunyi. Apalagi saat menjemput itu, Pak Lik hanya
mengenakan kaus singlet putih tipis dan celana jeans 3/4 berukuran
ketat berwarna hitam, membuat kegagahannya semakin kentara. Seketika itu
juga aku merasa cemburu dan tidak nyaman dengan tingkah istriku itu.
Sepulangnya
dari dokter, lagi-lagi Pak Lik membuatku takjub atas kebaikan hatinya.
Dengan dibantu istriku, Pak Lik merepotkan dirinya dengan menyediakan
makan malam untuk kami bertiga. Waktu makan malam itu kami pakai untuk
mengobrol dan bersenda gurau penuh keakraban, melepas kerinduan. Ketika
kami menanyakan di mana anak-anaknya, dengan senyuman ramahnya yang
khas, Pak Lik menjawab bahwa keduanya masih memiliki kesibukan di
kotanya masing-masing. Kesibukan itulah yang membuat mereka tidak bisa
pulang mudik tahun ini. Seusai makan malam, istriku menyuruhku meminum
obat. Tak lama aku langsung diserang kantuk yang luar biasa. Rupanya
dokter telah memberikan obat tidur padaku bersamaan dengan obat
demamnya. Akupun langsung tertidur pulas.
Sekitar pukul 11 atau
12 malam, aku tidak begitu pasti, aku dibangunkan oleh suara berisik
amben bambu dibarengi suara rintihan dan desahan halus dari sebelah
dinding kamarku. Kantukku masih sangat terasa. Aku meraba-raba istriku
tetapi tak kutemukan dia berbaring di sampingku. Aku menduga mungkin
perempuan itu sedang buang hajat di belakang. Di rumah Pak Lik
kamar-kamar tidurnya memang tidak dilengkapi lampu. Cahaya dalam kamar
cukup didapat dari imbas lampu besar di ruang tamu. Ruangan yang
sekaligus berfungsi sebagai ruang keluarga itu, membuat cahayanya dapat
tembus ke kamar-kamar di dalam rumahnya. Suara amben yang terus
mengganggu telingaku, suara-suara desahan dan lenguhan yang mirip
seperti manusia yang sedang bersetubuh, memaksaku mengintip ke celah
dinding di samping kananku.
Apa yang kemudian kulihat di sana
langsung memukul diriku. Akupun menjadi terpana dan limbung. Kepalaku
yang pusing karena sakit langsung kambuh seketika. Aku kembali terkapar
dengan jantungku yang berdegup cepat dan keras.
Benarkah
sepasang manusia yang sedang asyik bergumul setengah bugil itu Pak Lik
dan Dik Narti? Benarkah istriku telah tega mengkhianatiku? Benarkah Pak
Lik yang kebaikan hatinya selalu membuatku takjub kepadanya dan tadi
dia telah mengantarkanku ke dokter, sedang menggauli istriku? Perempuan
yang seharusnya dianggap sama dengan keponakannya juga?
Apakah
kekuranganku Dik Narti? Karena kesibukan kerja yang selalu merampas
waktuku, membuatmu merasa berhak untuk menerima kenikmatan seksual dari
orang lain? Termasuk dari pamanku sendiri? Apakah memang karena
masalah itu sebagaimana yang sering kamu keluhkan padaku? Ataukah Pak
Lik yang sudah 4 tahun menduda dengan segala kelebihan fisiknya ini
yang memulainya terlebih dahulu? Dia merayumu dan kamupun tak mampu
menolaknya? Lelaki tua yang macho dan ganteng seperti pamanku inikah
lelaki idamanmu?
Ah, sejuta pertanyaan yang aku tidak mampu
menjawabnya karena semakin menambah pusing kepalaku. Sementara suara
berisik dari amben itu menjadi semakin tak terkendali. Rintihan halus
Dik Narti dan desahan berat Pak Lik terdengar semakin jelas di
telingaku. Aku tak mampu bangun karena obat yang kuminum tadi dapat
membuatku limbung kalau tidak ada yang menolongku. Aku hanya mampu
mengintip dari celah dinding itu, tak mampu lebih jauh mencegah
tindakan tak senonoh dari pasangan laknat tersebut.
Kulihat Pak
Lik sedang asyik mengayun-ayunkan kontolnya yang ukuran membuatku
takjub itu ke lubang memek istriku sambil menciumi bibir Dik Narti
sepenuh nafsu. Sialan! Kenapa bisa-bisanya saat ini aku merasa takjub
pada kontol pamanku sendiri? Kepada lelaki tua yang jelas-jelas telah
mengkhianati diriku dengan menggauli istriku?
Tetapi memang
kuakui, kontol pamanku itu pasti membuat lelaki mana saja yang
melihatnya akan iri. Selain gede, panjang dan keras, kontol itu dihiasi
dengan urat-uratnya yang bersembulan di sekujur batangnya. Kepalanya
yang bagaikan topi helm para tentara dan bentuk batangnya yang
melengkung ke atas, membuat kontol itu terlihat sangat sempurna di
mataku.
Sementara itu sambil tetap berpelukan, Dik Narti asyik
memegangi kepala dan meremas-remas rambut cepaknya Pak Lik. Tampaknya
perempuan binal itu berusaha memastikan agar bibir-bibir mereka tetap
saling berpagutan dan saling melumat. Suara kecupan saat bibir yang
satu terlepas dari bibir yang lain, terdengar terus beruntun. Di bawah
sana, ayunan kontol Pak Lik yang semakin dalam menghujam memek istriku,
membuat ambennya terdengar semakin berisik.
“Pak Lik, Pak Lik,
enaakk Pak Lik.. teruss Pak Lik.. oocchh.. hhmm.. Pak Lik..” Duh,
rintihan Dik Narti yang begitu menikmati derita birahinya dientot
pamanku, membuat kepalaku terasa dipukul-pukul. Darah yang naik ke
kepalaku membuat pusing yang kurasakan terasa semakin hebat.
Desahan
Pak Lik sendiri tidak kalah hebatnya. Sebagai lelaki sehat yang telah
menduda lebih dari setahun, tentu kandungan libidonya sangat menumpuk.
Bukan tidak mungkin dialah yang memulainya, merayu istriku karena dia
tahu aku tidak akan mudah terbangun karena obat demam yang kutelan ini.
”Ssshhh… oohhh… oohh… enakkee, memekmu Dikkhh…” ujar Pak Lik.
”Aahh… sshhh… yaahh… terusshh… Pak… lagihhh… ooohh…” balas istriku.
Kulihat
buah dada istriku yang besar dan ranum, dengan pentilnya yang tegak
mengacung, sudah terbongkar dari kantung BHnya. Itu pasti ulah nakal
Pak Lik sebelumnya. Dia membetotnya keluar untuk dilumati, dihisap,
disedot dan diremas-remas. Kedua pentil susu istriku itu pastilah sudah
basah kuyup oleh lumuran ludah pamanku. Ketiak-ketiak istriku tampak
sangat sensual saat dia memegang erat kepala Pak Lik dan meremasi
rambutnya. Ketiak-ketiak itu pastilah sudah basah oleh jilatan lidah
pamanku yang sejak tadi aktif bergentayangan menebar nikmat. Kembali
aku ambruk ke ambenku.
Rasa pusing di kepalaku sangat
menyakitkan. Tanganku berusaha memijit-mijit kepalaku sendiri untuk
mengurangi rasa sakitnya. Tetapi setiap kali aku mendengar suara erotis
dari pasangan mesum itu, akupun tergoda untuk kembali mengintip lubang
dinding di sampingku. Kulihat kontol Pak Lik terasa semakin sesak saja
menembus memek Dik Narti. Dia tarik keluar pelan dengan dibarengi
desahan beratnya dan rintihan nikmat Dik Narti, kemudian mendorongnya
masuk kembali dengan desahan dan rintihan yang berulang. Dia lakukan
itu berulang-ulang, desahan dan rintihan nikmat dari keduanya juga
terdengar berulang. Kemudian kulihat tusukan kontol Pak Lik semakin
dipercepat. Mungkin kegatalan birahi mereka terasa semakin
menjadi-jadi.
Tak lama kulihat Pak Lik tidak lagi melumati bibir
Dik Narti. Dia turun dari amben dan menarik pelan pinggul istriku ke
pinggiran ambennya. Lalu dia mengangkat salah satu tungkainya sehingga
menyentuh dadanya yang berotot. Dengan cara itu rupanya Pak Lik ingin
bisa lebih dalam menusukkan kontolnya ke memek Dik Narti. Akibatnya
kenikmatan yang tak berperi melanda istriku. Dia meremas-remas sendiri
kedua susunya. Kepalanya yang rambutnya telah amburadul acak-acakan,
terus bergoyang ke kanan dan ke kiri menahan siksa nikmat yang tak
terhingga.
Racauan penuh nikmat terus keluar dari mulut keduanya.
Mereka sudah sangat lupa diri. Mereka sudah tidak lagi memperhitungkan
aku, suami sahnya dan keponakannya yang kini berada di kamar sebelah,
tengah tergeletak karena sakit yang membuatku merasa hampir mati.
Kembali
aku mengintip mereka. Entah kapan mulainya, tahu-tahu keduanya sudah
berganti posisi. Kali ini pamanku sudah berbaring di atas amben
kembali, sementara istriku berada di atas tubuhnya, asyik
menungganginya. Pak Lik tampak asyik meremasi pinggung dan pinggul Dik
Narti, sementara istriku asyik bergerak naik-turun sambil meremasi
payudaranya sendiri. Sesekali dia merebahkan tubuhnya, saling berpagutan
bibir dengan Pak Lik. Dia menindih erat dada pamanku yang bidang
dengan payudaranya yang ranum nan menggiurkan.
Tak lama gerakan
mereka mulai berubah lagi. Keduanya bergerak semakin liar. Masih dengan
istriku menunggangi tubuhnya, pamanku bangkit dan langsung membenamkan
wajah gantengnya di gunung kembar istriku. Di sana dia sibuk menyusui
payudara istriku bergantian, yang kanan dan yang kiri. Mendapat
serangan yang menggila itu, istriku menjadi semakin liar saja. Erangan
nikmat dan desahan birahinya terdengar semakin keras, membuat siapapun
yang mendengarnya akan sangat terangsang. Di bawah sana, pompaan kontol
pamanku tampak dipercepat masuk ke memek istriku, membuat suara
ambennya semakin keras saja terdengar.
Keduanyapun sudah bugil
kini. Tiada lagi kaus dalam putih tipis yang membalut tubuh pamanku,
menampilkan pemandangan mengagumkan dari sosok berotot berusia setengah
abad, yang mengkilat oleh keringatnya. Begitu juga kaus tank-top dan
celana dalam Dik Narti yang tadi masih tersampir di salah satu kakinya,
sudah hilang entah ke mana. Istriku tampak sangat menggairahkan,
dengan tubuh moleknya yang mengkilat oleh keringat. Sekarang keduanya
tampak sangat seksi dan… serasi! Sesuatu yang aku benci sekali
mengakuinya…
Pompaan kontol pamanku di memek istriku, suara
beradunya paha dengan paha, desahan berat Pak Lik dan rintihan nikmat
tak berkeputusan dari Dik Narti, membuat simfoni erotis yang terdengar
sangat indah di malam yang dingin dan sunyi ini. Aku yang melihatnya
herannya ikut-ikutan terangsang. Kontolku yang ukuran panjang dan
diameternya hanya setengah dari kontol pamanku telah terbangun dari
tidurnya. Walaupun pusing di kepalaku masih tetap menghebat, kontolku
berdiri dengan tegangnya, terangsang melihat pemandangan birahi yang
sangat memukau di kamar sebelah.
Kalau tadi pompaan kontol
Pak Lik tampak kencang, sekarang kulihat gerakan mengayunnya pantat
pamanku semakin diperlambat. Walaupun begitu, desakannya kini terlihat
lebih mantap dan bertenaga. Rupanya pamanku sedang mempraktekkan teknik
bercintanya yang baru. Sekitar tiga atau empat kali pompaan biasa, dia
membuat satu hentakan keras dan bertenaga. Tampaknya dia berusaha
membuat kontolnya lebih dalam lagi menembus memek istriku. Begitu dia
lakukan berkali-kali. Tentu saja istriku semakin histeris dibuatnya.
Istriku
seakan tidak mau kalah dengan Pak Lik. Dengan semakin erat memeluk
leher pamanku yang kokoh, dia putar-putar pinggul dan pantatnya secara
liar, memainkan kontol pamanku yang sejak tadi aktif memompa memeknya.
Desahan berat pamanku terdengar semakin keras dan tak berkeputusan
merasakan nakalnya pantat dan pinggul Dik Narti saat mengendalikan
tongkat saktinya.
Kuskasikan saat ini, kenikmatan nafsu birahi
telah menghempaskan mereka ke sifat-sifat hewaniah yang tak mengenal
lagi rasa malu, sungkan, iba, kesucian, hormat dan seterusnya. Mereka
sudah hangus terbakar oleh nafsu birahi. Menjadi budak nafsu setan yang
bergentayangan di dalam diri mereka sendiri. Aku terbatuk-batuk dan
mual. Pusing kepalaku langsung menghebat.
Dengan suara yang
sengaja kukeraskan aku mengeluarkan dahakku ke ember yang telah
disediakan, disusul dengan muntah-muntah benaran. Aku berharap dengan
tindakakanku itu segalanya menjadi berhenti. Mereka pasti akan bergegas
menolong aku. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Suara amben itu
justru terdengar semakin berisik. Sehingga kini ada dua sumber berisik
di dalam rumah Pak Lik ini. Suaraku, orang yang sedang sakit dan
memerlukan pertolongan di kamar sebelah sini dan suara erotis dari
sepasang manusia yang sedang asyik bergumul dengan nafsu setan di kamar
di sebelah sana.
Aku tahu mereka dalam keadaan tanggung. Puncak
nikmat sudah dekat dan nafsu birahi untuk memuntahkan segalanya sudah
di ubun-ubun. Mereka pasti berpikir, biarkan saja aku menunggu di sini
gelisah karena pusing campur sakit hati dan gelisah. Yang lebih
herannya, aku justru merasa terangsang melihat adegan mesum pasangan
keji itu. Aku berusaha mati-matian untuk meredam kontolku yang terus
menegang gara-gara suara erotis bercampur suara berisiknya amben dari
kamar sebelah, sebelum akhirnya aku kembali tergoda untuk mengintip
kembali. Aku ingin tahu sejauh mana pamanku bisa memuaskan Dik Narti,
perempuan yang kuat sekali dorongan syahwat hewaniahnya.
Saat
kembali aku mengintip, keduanya sedang berancang-ancang untuk berubah
posisi lagi. Rupanya gairah seksual yang menggebu-gebu membuat stamina
seksual mereka seakan-akan tiada ada batasnya. Istriku turun dari
amben, lalu Pak Lik menyusul kemudian. Lalu disuruhnya istriku
berlutut. Setelah itu, dia sorongkan kontolnya yang king size itu ke
mulut istriku, yang langsung disambut istriku dengan antusias. Bangsat,
sekali lagi bangsat wanita itu! Setiap kali aku memintanya untuk
mengulum kontolku dia selalu menolaknya. Jijik, begitu alasannya. Tapi
begitu pamanku yang memintanya, justru istriku menyambutnya dengan
antusias. Terbukti, Dik Narti tidak hanya mengulum batang kontol pamanku
saja, tapi juga kantung pejuhnya dan bahkan lubang anus Pak Lik, turut
dijilatinya.
Pak Lik sendiri tampak keenakan dengan ulah
istriku itu. Erangan beratnya terdengar tak berkeputusan. Wajahnya
tampak menampilkan ekspresi nikmat yang tak terhingga. Tangan-tangan
kekarnya secara bergantian meremasi payudara istriku. Sesekali
pantatnya yang terpahat itu, bergerak maju-mundur dengan kasar, membuat
kepala istriku terangguk-angguk. Tampaknya selain mengentot lubang
memek Dik Narti, dia juga gemas ingin mengentot wajah istriku.
Adegan
seru itu tidak lama. Begitu dirasanya puas, mereka langsung mengatur
posisi lagi. Disuruhnya istriku naik ke atas amben, diikuti pamanku
sesudahnya. Tak lama mereka sudah kembali bergoyang-goyang, memompa dan
dipompa. Mereka bercinta dalam gaya anjing di atas amben itu. Hanya
saja bukan lubang memek istriku lagi yang menjadi sasaran keganasan
kontol Pak Lik melainkan lubang anusnya. Istriku tampak termehek-mehek
merasakan betapa nikmat anusnya disumpal oleh kontol sebesar itu.
Kuakui lubang anusnya masih perawan, karena Dik Narti selalu menolak
kalau anusnya dientot olehku. Bangsat!!! Hanya itulah ungkapan yang
pantas mewakili kekesalan hatiku saat ini kepada Dik Narti.
Gerak
dan ayun pasangan laknat itupun sampai di puncaknya dalam posisi ini.
Erangan dan desahan berat Pak Lik bersahut-sahutan dengan erangan dan
desahan parau Dik Narti, merasakan nikmatnya lubang anusnya disumpal
kontol sedahsyat itu. Rambut Dik Narti yang indah dijadikannya tali
kekang oleh Pak Lik. Sementara satu tangannya yang lain asyik meremasi
payudara istriku secara bergantian. Begitupun ekspresi di wajah mereka.
Ketampanan wajah Pak Lik dan kecantikan Dik narti menjadi lebih jelas
terlihat.
Ketika ejakulasi mereka akhirnya hadir, suara-suara di
rumah ini benar-benar gaduh. Aku yang muntah-muntah tanpa henti dengan
suaraku seperti seekor babi yang sedang disembelih bercampur dengan
suara histeris Pak Lik bersama istriku, menerima kenyataan nikmat dari
orgasme beruntun yang mereka raih hampir bersamaan, susul menyusul.
Untuk sesaat suara amben masih terdengar berisik untuk kemudian reda
dan sunyi, berganti dengan suara-suara kecupan bibir, suara pujian
saling memuji dan memuja dan suara nafas yang tersengal-sengal.
Sementara di sebelah sini aku masih mengeluarkan suara dari batukku
disertai dengan rasa mau muntah yang keluar dari tenggorokanku.
Tak
lama istriku muncul di pintu. Dipegangnya kepalaku. ’Ah, kok semakin
panas mas, obatnya diminum lagi ya?’ katanya. Kemudian dengan kuat
tangannya meringkus kepalaku dan memaksakan obat cair itu masuk ke
mulutku. Aku terlampau lemah untuk menolaknya. Saat jari-jarinya
memencet hidungku, aku yang mengalami kesulitan nafas, terpaksa menelan
habis seluruh obat yang disuapkannya ke dalam rongga mulutku. Kemudian
disuruhnya aku minum air hangat. Sebelum air itu habis kuteguk aku
sudah kembali jatuh tertidur pulas. Praktis aku tidak punya alibi
sedikitpun atas apa yang selanjutnya terjadi di rumah ini hingga 6 jam
kemudian saat aku terbangun.
Jam 9 pagi esoknya aku terbangun
lemah. Pertama-tama yang kulihat adalah dinding di mana aku mengintai
selingkuh istriku dengan Pak Lik. Aku marah pada dinding itu. Kenapa
begitu banyak lubangnya sehingga aku bisa mengintip. Aku juga marah
pada diriku sendiri, kenapa aku yang sakit ini masih-masihnya tergoda
untuk mengintip ke dinding itu, menyaksikan istriku yang sedang asyik
menanggung nikmat kemaluannya digojlok oleh kontol pamanku. Tapi saat
aku ingin teriak karena teringat peristiwa semalam, Dik Narti muncul di
pintu kamar. Pandangan matanya terasa sangat lembut dan perhatian. Dia
mendekat dan duduk di ambenku. Dia ganti kompres di kepalaku dengan
elusan tangannya yang lembut sambil berkata,
“Mas Roso (begitu
dia memanggilku) semalaman mengigau terus. Panas tubuhnya tinggi. Aku
jadi takut dan khawatir. Pak Lik bilang supaya aku ambil air dan kain
untuk mengompres kepala Mas Roso” Saat mendengar mulutnya menyebut Pak
Lik yang aku ingat betul intonasi nada dan pengucapannya mirip
sebagaimana yang aku dengar tadi malam, seketika darahku mendidih dan
tanganku langsung mencekal blusnya. Aku ingin sekali menampar wajahnya
yang cantik itu. Tetapi senyum teduhnya kembali hadir di bibirnya,
“Hah,
apa lagi mas, apa lagi yang dirasakan, sayang?”, ucapnya lembut tanpa
prasangka apapun atas perlakuan kasarku barusan, menatapku dengan air
mukanya yang anehnya tampak tetap suci bersih.
Langsung didih darahku
surut. Aku tak mampu melawan kelembutan sikap dan senyumnya yang
menawan itu. Kutanyakan padanya di mana Pak Lik sekarang, dengan bola
mata berbinar Dik Narti mengatakan Pak Lik sedang ke sawahnya. Hari ini
giliran dia untuk membuka pematang agar air sungai mengalir ke
sawahnya. Dia juga bilang agar aku banyak istirahat saja dulu. Dia
sudah menelepon orang tua di Yogya dari kantor telepon, mengabarkan
bahwa aku sakit dan akan istirahat dulu di Redjo Legi selama 3 hari ke
depan. Rupanya demamku sangat parah sehingga aku harus dirawat di Redjo
Legi selama 3 hari penuh. Kemudian dia beranjak dan kembali dengan
sepiring bubur sum-sum, aku disuapinya.
Aku jadi berpikir apa
yang sesungguhnya terjadi tadi malam. Apakah panas tubuhku yang sangat
hebat, telah membawaku ke alam mimpi? Sampai-sampai aku menggigau
sepanjang malam sebagaimana kata istriku, ataukah perselingkuhan Pak
Lik dengan istriku itu memang benar-benar sebuah kenyataan? Kembali
kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku kembali mencekokiku dengan
obat yang dibawanya. Akupun kembali tertidur.
Sebelum aku
terlelap benar, istriku dengan penuh kasih memeluk kepalaku. Dia
mengelus-elus kepalaku sambil mendekatkannya ke dadanya. Pada saat itu
aku merasakan semburat aroma yang lembut menerjang ke hidungku. Aroma
itu aku yakini adalah aroma yang sangat kukenal, aroma ludah dan sperma
lelaki yang telah mengering. Aroma itu menguar dari payudaranya dan
bagian lain tubuh eloknya. Obat tidurku tak memberi kesempatan padaku
untuk melek lebih lama. Aku kembali pulas tertidur.
Selanjutnya
selama 3 hari ke depan, setiap malam aku selalu benar-benar terlelap,
sehingga tak lagi tahu apa yang sedang terjadi di antara mereka, Pak
Lik dan Dik Narti selama sisa hari-hari itu. Saat berpamitanpun, aku
tidak melihat tanda-tanda mencurigakan itu dari wajah keduanya saat
mereka sedang berpamitan. Keduanya berpisah secara sewajarnya.
Sampai
kini, 6 bulan sesudah peristiwa itu, aku tetap tidak tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Apakah peristiwa mesum itu hanyalah khayalanku
belaka atau memang benar-benar terjadi? Aku tidak mempunyai alibi
apapun untuk mempertanyakan keinginan tahuku pada istriku. Juga tidak
punya keberanian untuk itu. Aku sangat khawatir akan kehilangan
dirinya. Yang mungkin bisa dan perlu aku lakukan adalah memilih jalur
utara yang padat saat pulang mudik yang akan datang dan seterusnya.
Namun
yang pasti, jika dugaanku benar istriku dan Pak Lik berselingkuh, aku
yakin keduanya tak akan berhenti sampai di situ saja. Perselingkuhan
itu pasti akan terus berlangsung, entah sampai kapan.
Sungguh malang nasib suami yang menceritakan cerita seks
ini, tapi jika dia adalah lelaki harus secara cepat mengambil tindakan
agar perselingkuhan istrinya tidak berlanjut dan menjadikan istrinya
istri bispak alias bis dipake sembarang orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar