Sabtu, 07 Januari 2017
Dukun Durjana
Namaku Salmiah. Aku seorang guru berusia 28 tahun. Di kampungku di
daerah Terengganu, aku lebih dikenal dengan panggilan Bu Miah. Aku ingin
menceritakan satu pengalaman hitam yang terjadi pada diriku sejak enam
bulan yang lalu dan terus berlanjut hingga kini. Ini semua terjadi
karena kesalahanku sendiri. Kisahnya begini, kira-kira enam bulan yang
lalu aku mendengar cerita kalau suamiku ada hubungan gelap dengan
seorang guru di sekolahnya.Suamiku juga seorang guru di sekolah menengah
di kampungku. Dia lulusan perguruan tinggi lokal sedangkan aku cuma
seorang guru pembantu. Tanpa mencek lebih lanjut kebenarannya, aku
langsung mempercayai cerita tersebut. Yang terbayangkan saat itu cuma
nasib dua anakku yang masih kecil. Secara fisik, sebetulnya aku masih
menawan karena kedua anakku menyusu botol. Cuma biasalah yang namanya
lelaki, walau secantik apapun isterinya, tetap akan terpikat dengan
orang lain, pikirku.Diam-diam aku pergi ke rumah seorang dukun yang
pernah kudengar ceritanya dari rekan-rekanku di sekolah. Aku pergi tanpa
pengetahuan siapa pun, walau teman karibku sekalipun. Pak Itam adalah
seorang dukun yang tinggal di kampung seberang, jadi tentulah
orang-orang kampungku tidak akan tahu rahasia aku berjumpa dengannya. Di
situlah berawalnya titik hitam dalam hidupku hingga hari ini.Pak Itam
orangnya kurus dan pendek. Tingginya mungkin tak jauh dari 150 cm. Kalau
berdiri, ia hanya sedadaku. Usianya kutaksir sekitar 40-an, menjelang
setengah abad. Ia mempunyai janggut putih yang cukup panjang. Gigi dan
bibirnya menghitam karena suka merokok.Aku masih ingat saat itu Pak Itam
mengatakan bahwa suamiku telah terkena guna-guna orang. Ia lalu membuat
suatu ramuan yang katanya air penawar untuk mengelakkan diriku dari
terkena santet wanita tersebut dan menyuruhku meminumnya. Setelah
kira-kira lima menit meminum air penawar tersebut kepalaku menjadi
ringan. Perasaan gairah yang tidak dapat dibendung melanda diriku secara
tiba-tiba.Pak Itam kemudian menyuruhku berbaring telentang di atas
tikar ijuk di ruang tamu rumahnya. Setelah itu ia mulai membacakan
sesuatu yang tidak kupahami dan menghembus berulang kali ke seluruh
badanku. Saat itu aku masih lengkap berpakaian baju kurung untuk
mengajar ke sekolah pada petangnya.Setelah itu aku merasa agak
mengkhayal. Antara terlena dan terjaga aku merasakan tangan Pak Itam
bermain-main di kancing baju kurungku. Aku tidak berdaya berbuat apa-apa
melainkan merasakan gairah yang amat sangat dan amat memerlukan belaian
lelaki. Kedua buah dadaku terasa amat tegang di bawah braku. Putingku
terasa menonjol. Celah kemaluanku terasa hangat dan mulai becek.Aku
dapat merasakan Pak Itam mengangkat kepalaku ke atas bantal sambil
membetulkan tudungku. Selanjutnya ia menanggalkan pakaianku
satu-persatu. Setelah aku berbaring tanpa sehelai pakaian pun kecuali
tudungku, Pak itam mulai menjilat bagian dadaku dahulu dan selanjutnya
mengulum puting tetekku dengan rakus. Ketika itu aku terasa amat berat
untuk membuka mata.Setelah aku mendapat sedikit tenaga kembali, aku
merasa sangat bergairah. Kemaluanku sudah mulai banjir. Aku berhasil
menggerakkan tanganku dan terus menggapai kepala Pak Itam yang sedang
berada di celah selangkanganku. Aku menekan-nekan kepala Pak Itam dengan
agak kuat supaya jilatannya lidahnya masuk lebih dalam lagi. Aku
mengerang sambil membuka mataku yang lama terpejam.Alangkah terkejutnya
aku saat aku membuka mataku terlihat dalam samar-samar ada dua sosok
lain sedang duduk bersila menghadapku dan memandangku dengan mata yang
tidak berkedip.“Bu Miah,” tegur seorang lelaki yang masih belum
kukenali, yang duduk di sebelah kanan badanku yang telanjang bulat.
Setelah kuamat-amati barulah aku bisa mengenalinya.“Leman,” jeritku
dalam hati. Leman adalah anak Pak Semail tukang kebun sekolahku yang
baru saja habis ujian akhirnya. Aku agak kalang kabut dan malu. Aku coba
meronta untuk melepaskan diri dari genggaman Pak Itam.Menyadari bahwa
aku telah sadarkan diri, Pak Itam mengangkat kepalanya dari celah
selangkanganku dan bersuara.“Tak apa Bu, mereka berdua ini anak murid
saya,” ujarnya sambil jarinya bermain kembali menggosok-gosok kemaluanku
yang basah kuyup.Sebelah lagi tangannya digunakan untuk mendorong
kembali kepalaku ke bantal. Aku seperti orang yang sudah kena sihir
terus berbaring kembali dan melebarkan kangkanganku tanpa disuruh. Aku
memejamkan mata kembali. Pak Itam mengangkat kedua kakiku dan
diletakkannya ke atas bahunya. Saat dia menegakkan bahunya, pantatku
juga ikut terangkat.Pak Itam mulai menjilat kembali bibir vaginaku
dengan rakus dan terus dijilat hingga ke ruang antara vagina dan
duburku. Saat lidahnya yang basah itu tiba di bibir duburku, terasa
sesuatu yang menggelikan bergetar-getar di situ. Aku merasa kegelian
serta nikmat yang amat sangat.“Leman, Kau pergi ambil minyak putih di
ujung tempat tidur. Kau Ramli, ambil kemenyan dan bekasnya sekalian di
ujung itu,” perintah Pak Itam kepada kedua anak muridnya.Aku tersentak
dan terus membuka mata.“Bu ini rawatan pertama, duduk ya,” perintah Pak
Itam kepadaku.Aku seperti kerbau dicocok hidung langsung mengikuti
perintah Pak Itam. Aku duduk sambil sebelah tangan menutup buah dadaku
yang tegang dan sebelah lagi menggapai pakaianku yang berserakan untuk
menutup bagian kemaluanku yang terbuka.Setelah menggapai baju kurungku,
kututupi bagian pinggang ke bawah dan kemudian membetulkan tudungku
untuk menutupi buah dadaku.Setelah barang-barang yang diminta tersedia
di hadapan Pak Itam, beliau menerangkan rawatannya. Kedua muridnya
malu-malu mencuri pandang ke arah dadaku yang kucoba tutupi dengan
tudung tetapi tetap jelas kelihatan kedua payudaraku yang besar dan
bulat di bawah tudung tersebut.“Ini saya beritahu Ibu bahwa ada sihir
yang sudah mengenai bagian-bagian tertentu di badan Ibu. Pantat Ibu
sudah terkena penutup nafsu dan perlu dibuang.”Aku cuma
mengangguk.“Sekarang Ibu silakan tengkurep.”Aku memandang tepat ke arah
Pak itam dan kemudian pandanganku beralih kepada Leman dan Ramli.“Nggak
apa-apa, Bu… mereka ini sedang belajar, haruslah mereka lihat,” balas
Pak Itam seakan-akan mengerti perasaanku.Aku pun lalu tengkurep di atas
tikar ijuk itu. Pak Itam menarik kain baju kurungku yang dirasa
mengganggunya lalu dilempar ke samping. Perlahan-lahan dia mengurut
pantatku yang pejal putih berisi dengan minyak yang tadi diambilkan
Leman. Aku merasa berkhayal kembali, pantatku terasa tegang menahan
kenikmatan lumuran minyak Pak Itam. Kemudian kurasakan tangan Pak Itam
menarik bagian pinggangku ke atas seakan-akan menyuruh aku menungging
dalam keadaan tengkurep tersebut. Aku memandang ke arah Pak itam yang
duduk di sebelah kiri pantatku.“Ya, angkat pantatnya,” jelasnya seakan
memahami keraguanku.Aku menurut kemauannya. Sekarang aku berada dalam
posisi tengkurep, muka dan dada di atas tikar sambil pantatku terangkat
ke atas. Pak Itam mendorong kedua kakiku agar berjauhan dan mulai
melumurkan minyak ke celah-celah bagian rekahan pantatku yang
terbuka.Tanpa dapat dikontrol, satu erangan kenikmatan terluncur dari
mulutku. Pak Itam menambahkan lagi minyak di tangannya dan mulai bermain
di bibir duburku. Aku meremas bantal karena kenikmatan. Sambil
melakukan itu, jarinya berusaha mencolok lubang duburku.“Jangan tegang,
biarkan saja,” terdengar suara Pak Itam yang agak serak.Aku coba
merilekskan otot duburku dan menakjubkan… jari Pak Itam yang licin
berminyak dengan mudah masuk sehingga ke pangkal. Setelah berhasil
memasukkan jarinya, Pak Itam mulai menggerakkan jarinya keluar masuk
lubang duburku.Aku coba membuka mataku yang kuyu karena kenikmatan untuk
melihat Leman dan Ramli yang sedang membetulkan sesuatu di dalam celana
mereka. Aku jadi merasakan semacam kenikmatan pula melihat mereka
sedang memperhatikan aku diterapi Pak Itam. Perasaan malu terhadap kedua
muridku berubah menjadi gairah tersembunyi yang seolah melompat keluar
setelah lama terkekang!Setelah perjalanan jari Pak Itam lancar keluar
masuk duburku dan duburku mulai beradaptasi, dia mulai berdiri di
belakangku sambil jarinya masih terbenam mantap dalam duburku. Aku
memandang Pak Itam yang sekarang menyingkap kain sarungnya ke atas
dengan satu tangannya yang masih bebas. Terhunuslah kemaluannya yang
panjang dan bengkok ke atas itu. Tampak sudah sekeras batang
kayu!“Bbbbuat apa ini, Pak….” tanyaku dengan gugup.“Jangan risau… ini
buat buang sihir,” katanya sambil melumur minyak ke batang kemaluannya
yang cukup besar bagi seorang yang kurus dan pendek. Selesai
berkata-kata, Pak Itam menarik jarinya keluar dan sebagai gantinya
langsung menusukkan batangnya ke lubang duburku.“ARRrgggghhggh…” spontan
aku terjerit kengiluan sambil mengangkat kepala dan dadaku ke atas.
Kaki bawahku pun refleks terangkat ke atas.“Jangan tegang, lemaskan
sedikit!” perintah Pak Itam sambil merenggangkan daging pantatku. Aku
berusaha menuruti perintahnya. Setelah aku melemaskan sedikit ototku,
hampir separuh batang Pak Itam terbenam ke dalam duburku.Aku melihat
Leman dan Ramli sedang meremas sesuatu di dalam celana masing-masing.
Setelah berhasil memasukkan setengah zakarnya Pak itam menariknya keluar
kembali dan lalu memasukkannya kembali sehingga semua zakarnya masuk ke
dalam rongga duburku. Dia berhenti di situ.“Sekarang Ibu merangkak
mengelilingi bara kemenyan ini tiga kali,” perintahnya sambil zakarnya
masih terbenam mantap dalam duburku.Aku sekarang seakan-akan binatang
yang berjalan merangkak sambil zakar Pak Itam masih tertanam dengan
mantapnya di dalam duburku. Pak Itam bergerak mengikutiku sambil
memegangi pinggangku.“Pelan-pelan saja, Bu,” perintahnya sambil menahan
pinggangku supaya tidak bergerak terlalu cepat. Rupanya ia takut
penisnya terlepas keluar dari lubang duburku saat aku bergerak. Aku pun
mematuhinya dengan bergerak secara perlahan.Kulihat kedua murid Pak Itam
sekarang telah mengeluarkan zakar masing-masing sambil bermasturbasi
dengan melihat tingkahku. Aku merasa sangat malu tetapi di lain pihak
terlalu nikmat rasanya. Zakar Pak Itam terasa berdenyut-denyut di dalam
duburku. Aku terbayang wajah suamiku seakan-akan sedang memperhatikan
tingkah lakuku yang sama seperti binatang itu.Sementara aku merangkak
sesekali Pak Itam menyuruhku berhenti sejenak lalu menarik senjatanya
keluar dan lalu menusukku kembali dengan ganas sambil mengucapkan
mantera-mantera. Setiap kali menerima tusukan Pak Itam setiap kali itu
pula aku mengerang kenikmatan. Lalu Pak Itam pun akan menyuruhku untuk
kembali merangkak maju. Demikian berulang-ulang ritual yang kami lakukan
sehingga tiga keliling pun terasa cukup lama.Setelah selesai tiga
keliling, Pak Itam menyuruhku berhenti dan mulai menyetubuhiku di dubur
dengan cepat. Sebelah tangannya memegang pinggangku kuat-kuat dan
sebelah lagi menarik tudungku ke belakang seperti peserta rodeo. Aku
menurut gerakan Pak Itam sambil menggoyang-goyangkan pantatku ke atas
dan ke bawah.Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang panas mengalir di dalam
rongga duburku. Banyak sekali kurasakan cairan tersebut. Aku memainkan
kelentitku dengan jariku sendiri sambil Pak Itam merapatkan badannya
memelukku dari belakang. Tiba-tiba sisi kiri pinggangku pun terasa panas
dan basah. Leman rupanya baru saja orgasme dan air maninya muncrat
membasahi tubuhku.Lalu giliran Ramli mendekatiku dan merapatkan zakarnya
yang berwarna gelap ke sisi buah dadaku. Tak lama kemudian air maninya
muncrat membasahi ujung putingku. Aku terus mengemut-ngemut zakar Pak
Itam yang masih tertanam di dalam duburku dan bekerja keras untuk
mencapai klimaks.“Arghhhhhhhrgh…” Aku pun akhirnya klimaks sambil
tengkurep di atas tikar ijuk.“Ya, bagus, Bu…” kata Pak Itam yang
mengetahui kalau aku mengalami orgasme. “Dengan begitu nanti
guna-gunanya akan cepat hilang.”Pak Itam lalu mencabut zakarnya dan
melumurkan semua cairan yang melekat di zakarnya ke atas pantatku sampai
batangnya cukup kering.“Jangan basuh ini sampai waktu magrib ya,”
katanya mengingatkanku sambil membetulkan kain sarungnya.Aku masih lagi
tengkurep dengan tudung kepalaku sudah tertarik hingga ke leher. Aku
merasakan bibir duburku sudah longgar dan berusaha mengemut untuk
menetralkannya kembali. Setelah itu aku bangun dan memunguti pakaianku
yang berserakan satu per satu.Selesai mengenakan pakaian dan bersiap
untuk pulang setelah dipermalukan sedemikian rupa, Pak Itam
berpesan.“Besok pagi datang lagi ya, bawa sedikit beras bakar.”Aku
seperti orang bodoh hanya mengangguk dan memungut tas sekolahku lalu
terus menuruni tangga rumah Pak itam.Sejak itu sampai hari ini, dua kali
seminggu aku rutin mengunjungi Pak Itam untuk menjalani terapi yang
bermacam-macam. Leman dan Ramli yang sedang belajar pada Pak Itam
sedikit demi sedikit juga mulai ditugaskan Pak Itam untuk ikut
menterapiku. Walaupun tidak tahu pasti, aku merasa bahwa suamiku
perlahan-lahan mulai meninggalkan affairnya. Yang pasti, kini sulit
rasanya bagiku untuk menyudahi terapiku bersama Pak Itam dan
murid-muridnya. Sepertinya aku sudah kecanduan untuk menikmati terapi
seperti itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar